Pernahkah Sobat mendengar istilah ekofeminisme? Secara garis besar, ekofeminisme merupakan gagasan yang dipengaruhi oleh dua konsep utama, yaitu feminisme dan gerakan lingkungan.
Ekofeminisme dapat didefinisikan sebagai sebuah gerakan yang menghubungkan isu lingkungan dan feminisme, mengkritik penindasan alam yang terkait dengan penindasan pada perempuan (tentangpuan, 2024). Di Indonesia, gagasan ekofeminisme banyak terlihat dalam gerakan-gerakan perempuan dalam menentang eksploitasi lingkungan yang berpotensi menimbulkan bencana ekologis.
Ekofeminisme hadir untuk menentang paradigma dominan yang selama ini melanggengkan penindasan pada perempuan dan lingkungan (Purike dkk., 2023). Melalui gerakan ini, perempuan mampu turut berperan dalam pengelolaan lingkungan hidup, baik dari sisi akses, kontrol, partisipasi, dan manfaat (Purike dkk., 2023).
Dengan kata lain, perempuan dan laki-laki memiliki peran yang sama dalam melestarikan lingkungan untuk keberlanjutan hidup manusia. Penasaran nggak sih sama gerakan ekofeminisme ini? Yuk kita belajar bersama!
Sejarah Ekofeminisme
Teori-teori feminisme seperti feminis liberal, sosialis-marxis, hingga feminisme modern merupakan cikal-bakal dari lahirnya ekofeminisme. Ideologi feminisme modern memandang individu sebagai makhluk yang otonom, bebas menentukan jalan hidupnya, dan lepas dari pengaruh lingkungannya (Fahimah, 2017).
Sementara ekofeminisme merupakan antitesis dari feminisme modern, karena gagasan ini dikembangkan dari asumsi bahwa individu adalah makhluk yang terikat dan berinteraksi dengan lingkungannya. Istilah ekofeminisme pertama kali dikenalkan oleh feminis perancis yaitu Françoise d’Eaubonne pada tahun 1974 melalui buku “Le Feminisme ou La Mort” yang berusaha untuk melepaskan dominasi logika dualistik (maskulinitas vs feminitas), dengan fokus menyelamatkan planet (Fahimah, 2017).
Ekofeminisme juga berkembang di Indonesia, kesadaran akan hubungan perempuan dengan alam tumbuh dalam gerakan perempuan Indonesia. Hal ini ditandai dengan meningkatnya konflik agraria dan eksploitasi sumber daya alam yang menyebabkan banyak perempuan untuk turun langsung dalam menjaga lingkungan (Mongabay, 2022). Namun, ekofeminisme juga dapat menjadi refleksi untuk melihat langsung bagaimana krisis sosial-ekologis yang terjadi saat ini berkaitan dan berdampak langsung pada perempuan.
Fenomena Ekofeminisme di Indonesia
Di Indonesia, beberapa gerakan lingkungan yang diinisiasi oleh perempuan telah banyak menuai sorotan. Di antaranya adalah Mama Aleta Balun di NTT dan Perempuan Kendeng di Jawa Tengah.
1. Mama Aleta Balun: Menenun Perlawanan

Sumber : Mongabay.co.id
Perjuangan Mama Aleta Balun di NTT merupakan salah satu contoh nyata perempuan mampu menjadi aktor perubahan loh Sobat! Pada tahun 1996, perjuangan Mama Aleta dalam melawan eksploitasi alam oleh perusahaan tambang marmer di dimulai.
Sebagai bagian dari kearifan lokal, masyarakat Suku Molo di Timor Tengah Selatan, NTT, menggantungkan hidup pada sumber daya hutan yang mereka kelola secara berkelanjutan. Namun, tanah hutan sakral di Gunung Mutis adalah salah satu hutan yang terancam karena kehadiran perusahaan. Penolakan pun muncul dari masyarakat Molo, dan Mama Aleta Balun menjadi penggerak utama dari aksi tersebut.
Aksi penolakan dikemas secara unik, di mana sekitar 150 perempuan Molo menenun pakaian tradisional di lokasi penambangan marmer. Kapas dan pewarna dari alam yang digunakan untuk menenun merupakan hasil dari hutan, sehingga jika hutan dirusak maka perempuan tidak bisa menenun kembali.
Perempuan Molo sadar bahwa mereka dapat melakukan lebih banyak selain menjadi ibu rumah tangga. Kaum pria Molo juga mendukung gerakan ini, tetapi mereka tidak berada di garis depan untuk menghindari konflik perkelahian dengan perusahaan. Saat perempuan melakukan aksi penolakan, pria berperan mengurus rumah tangga seperti memasak.
Berkat gerakan perempuan Molo, pada tahun 2010 perusahaan tambang mulai berhenti karena semakin mendapat tekanan dari masyarakat. Mama Aleta Balun juga mendapatkan penghargaan untuk mendukung figur yang berjuang mempertahankan lingkungan, yaitu The Goldman Environmental Prize pada tahun 2013.
Dari Mama Aleta Baun kita dapat belajar bahwa perempuan memiliki peran penting dalam merawat lingkungan. Peran perempuan tidak boleh dikesampingkan, bahkan di ruang domestik, karena dampak eksploitasi lingkungan turut dirasakan secara langsung oleh perempuan dalam kehidupan sehari-hari.
“Harapan saya, para perempuan kembali pada pengetahuan lokal yang dimiliki dan mencintai lingkungan”-(Mama Aleta dalam wawancara Mongabay Indonesia, 15 April 2013)
2. Perempuan Kendeng: Kegigihan Mencari Keadilan

Sumber : Kompas.com
Ancaman ekologis juga terjadi di Pegunungan Kendeng Utara yang membentang di utara Jawa Tengah hingga Jawa Timur. Kehadiran perusahaan semen yang mengeksploitasi pegunungan karst berpotensi menyebabkan kerusakan dinding gua dan saluran air, sehingga menimbulkan ancaman pada sumber air di bawah permukaan.
Pada tahun 2014, masyarakat yang tinggal di Pegunungan Kendeng, tepatnya di Rembang mulai bersatu untuk mencegah ancaman kerusakan lingkungan ini. Perempuan juga terlibat dalam gerakan ini, khususnya mereka yang juga berprofesi sebagai petani. Pembangunan pabrik semen di Rembang dikhawatirkan akan mengancam keberlanjutan Cekungan Air Tanah (CAT) Watuputih yang digunakan untuk lahan pertanian dan pasokan PDAM Rembang.
Melalui aksi nirkekerasan atau aksi damai, perempuan-perempuan di daerah Kendeng melakukan aksi protes untuk menolak kehadiran pabrik semen. Salah satu aksinya diinisiasi oleh sembilan perempuan Kendeng yang sering disebut “Kartini Kendeng” yang menyemen kaki mereka sebagai simbol bahwa semen akan memenjarakan hidup mereka.
Salah satu “Kartini Kendeng” tersebut adalah Ibu Sukinah, yang tergabung dalam Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JM-PPK). Dirinya bersikukuh untuk tinggal di rumah dan tanah miliknya, alih-alih menjualnya ke perusahaan. Setiap tahunnya, Ibu Sukinah mampu mendapatkan hasil panen jagung senilai 22 juta rupiah dan aliran air gratis sepanjang tahunnya.
“Kita bisa hidup tanpa semen, tetapi tidak bisa hidup tanpa air.” – Ibu Sukinah (Dalam Witness, 2023)
Perjuangan panjang petani dan perempuan kendeng tidak sia-sia. Pada 1 Juni 2025, pabrik semen di Rembang akhirnya resmi ditutup. Gerakan ekofeminisme yang dilakukan oleh perempuan Kendeng mampu membuka mata masyarakat akan realita ketidakadilan yang mereka alami selama ini. Ketika Ibu Bumi terancam, di situlah seluruh masyarakat harus menjaganya, tidak terkecuali perempuan.
Ekofeminisme di Era Kontemporer
Dua kasus yang telah dijelaskan sebelumnya adalah contoh nyata bagaimana perempuan dapat berkontribusi secara langsung dalam menjaga kelestarian lingkungan. Eksploitasi pada alam seringkali juga berdampak langsung pada perempuan, seperti kerusakan lahan penghidupan perempuan (hutan dan pertanian), penurunan ketersediaan air bersih, dan pengabaian terhadap pengetahuan lokal perempuan.
Gerakan ekofeminisme memberikan sudut pandang yang menarik terkait penindasan gender yang terkait dengan degradasi lingkungan. Dalam sistem patriarki yang membatasi ruang gerak perempuan, ekofeminisme menawarkan pendekatan yang mampu menjawab dua permasalahan, yaitu keterpinggiran perempuan dan kerusakan lingkungan.
Prinsip ekofeminisme juga berfungsi sebagai panduan berharga untuk menciptakan hubungan yang harmonis antara manusia, alam, dan satu sama lain. Prinsip ini menolak dominasi dan tindakan eksploitasi yang diwariskan oleh sistem patriarki dan kapitalisme. Tidak hanya menyoroti peran penting perempuan dalam menjaga lingkungan, ekofeminisme juga bisa mendorong kita untuk menjadi bagian dari gerakan ini, loh, Sobat!a
Mulai dari mengedepankan prinsip hidup yang seimbang dengan alam seperti melakukan upaya Reduce, Reuse, dan Recycle (3R) serta konsumsi secara etis dan bijaksana merupakan wujud menerapkan prinsip ekofeminisme. Kita juga tidak harus menunggu alam terancam untuk menjaga kelestariannya, karena hal kecil tadi dapat kita mulai dari diri sendiri. Sudahkah kamu turut serta menjaga lingkungan selama ini, Sobat?
Penulis : Wisnu Surya Narendra
Referensi
Fahimah, N. (2017). Ekofeminisme: Teori dan gerakan. Alamtara: Jurnal Komunikasi dan Penyiaran Islam, 1(1), 6-19. Diakses dari https://ejournal.iai-tabah.ac.id/alamtaraok/article/view/220/175
Mongabay Indonesia. (2013, 15 April). Mama Aleta: Berjuang mempertahankan lingkungan, melawan tambang dengan menenun. Mongabay Indonesia. Diakses dari https://mongabay.co.id/2013/04/15/mama-aleta-berjuang-mempertahankan-lingkungan-melawan-tambang/
Mongabay Indonesia. (2022, 9 Mei). Ekofeminisme dan Perjuangan Perempuan Menuntut Keadilan Lingkungan. Diakses dari https://mongabay.co.id/2022/05/09/ekofeminisme-dan-perjuangan-perempuan-menuntut-keadilan-lingkungan/
Purike, E., Tobing, F., Azizah, N., & Kesumah, P. (2024). Ekofeminisme dan peran perempuan Indonesia dalam Perlindungan Lingkungan. Jurnal Relasi Publik, 1(3), 42-53. https://doi.org/10.59581/jrp-widyakarya.v1i2.918
Tentang Puan. (2024, 19 Agustus). Menggali ecofeminisme: Keterkaitan antara alam dan keadilan gender. https://tentangpuan.com/2024/08/19/menggali-ecofeminisme-keterkaitan-antara-alam-dan-keadilan-gender/
Witness. (2023). Untuk Ibu Bumi: Perempuan Kendeng dan Jalan Panjang Mencari Keadilan. Diakses dari https://blog.witness.org/2023/06/perempuan-kendeng-indonesia/