Aku berusia sekitar 12 tahun ketika pertama kali mengalami menstruasi. Itu terjadi di malam hari; aku terbangun dalam kebingungan, seprai tempat tidur ternoda oleh cairan yang entah dari mana. Aku pikir aku ngompol saat tidur. Itu sudah bertahun-tahun tidak terjadi, tapi apalagi kalau bukan itu?
Butuh beberapa menit untuk membereskan bantal dan mencoba membersihkan noda sebisa mungkin sebelum akhirnya aku mengatasi rasa malu dan membangunkan ibuku. Tapi aku melakukannya juga, dan dia membantuku membersihkannya.
Hanya dalam hitungan menit setelah lampu dinyalakan, ibuku menyadari sesuatu yang tidak aku lihat saat ruangan masih gelap: nodanya berwarna merah.
Sejujurnya, aku tidak terlalu ingat apa yang terjadi setelah itu. Tapi entah bagaimana, dalam 24 jam berikutnya, aku belajar bahwa menstruasi berarti kram dan darah, bahwa aku harus memakai sesuatu yang terlihat seperti popok dengan sayap untuk mencegah bocor, dan bahwa tubuhku akan mengalami ini setiap bulan.
Sebagian besar hal ini aku pelajari langsung dari kakak perempuanku, yang diminta ibuku untuk menjelaskan semuanya. Namun, itu hanya sebatas hal-hal mendasar; hanya itu yang bisa kupahami saat itu. Mungkin aku pernah mendengar kata “menstruasi” atau “haid” sekilas, tetapi tidak cukup sering untuk mengenalinya atau memahami artinya. Kakakku tampaknya menyadari bahwa mencoba menjelaskan semuanya sekaligus hanya akan membuatku semakin bingung.

Pengalamanku bukanlah sesuatu yang unik. Seperti banyak gadis lain di Amerika Serikat, negaraku, aku baru benar-benar memahami bagian penting dari tubuhku ini ketika aku mengalaminya sendiri.
Aku bisa saja menyalahkan orang tuaku karena tidak memberitahuku lebih awal, atau sekolahku karena menghindari topik ini sampai aku lebih tua. Namun, aku tahu bahwa masalahnya jauh lebih luas daripada itu. Stigmatisasi terhadap menstruasi bukan hanya sesuatu yang nyata, tetapi lebih seperti aturan tak tertulis yang terus dipertahankan oleh institusi publik, hubungan pribadi, dan individu–termasuk diriku sendiri.
Pada tahun itu, ketika aku tidak berpuasa selama beberapa hari saat menstruasi di bulan Ramadan, aku ingat adik laki-lakiku bertanya mengapa. Kami hanya terpaut satu tahun, dan biasanya kami saling menceritakan segalanya. Namun selama bertahun-tahun, aku menghindari pertanyaan itu, mengalihkan perhatiannya, atau bahkan–atas dorongan ibuku–makan dan minum di luar penglihatannya agar dia tidak menyadarinya. Butuh beberapa tahun sebelum aku akhirnya lelah terus menyembunyikan hal itu dan memberitahunya secara langsung bahwa aku sedang menstruasi. Aku tidak pernah mengumumkannya sekarang, tetapi aku juga tidak menyembunyikannya lagi.
Sekarang, hubunganku dengan menstruasi jauh lebih baik. Secara fisik, tidak ada yang berubah, tetapi memiliki akses ke informasi tentang menstruasi melalui pelajaran kesehatan di sekolah dan internet membuatku tetap percaya diri dan produktif meskipun sedang haid. Aku juga pernah berdiskusi terbuka dengan teman-teman–termasuk beberapa laki-laki–tentang hal ini.
Namun, aku sadar bahwa ini bukanlah pengalaman yang dimiliki semua orang. Stigmatisasi dan tabu terhadap menstruasi terjadi tidak hanya di AS tetapi juga di seluruh dunia, terutama di negara berkembang seperti Indonesia. Hanya sebagian kecil perempuan* yang mendapatkan edukasi tentang menstruasi dan memiliki hubungan yang sehat dengan siklusnya. Padahal, akses terhadap informasi yang komprehensif serta ruang diskusi terbuka tentang kesehatan menstruasi seharusnya menjadi hak bagi setiap gadis dan perempuan muda, bukan sekadar privilese—dan aku sangat menyadari bahwa aku memiliki privilese ini.
*Banyak orang trans, non-biner, gender fluid, dan interseks juga mengalami menstruasi.
Stigma Menstruasi di Indonesia
Di Indonesia, 25% anak perempuan pertama kali mengalami menstruasi tanpa mengetahui apa pun tentangnya (Boys as Allies for Menstrual Health in Indonesia, 2024). Banyak keluarga sama sekali tidak membahas topik ini, dan banyak sekolah tidak menyediakan fasilitas yang memungkinkan anak perempuan merawat diri mereka dengan baik. Ada banyak kesalahpahaman tentang siklus menstruasi—apa artinya, serta apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan saat haid. Banyak anak perempuan memilih tidak masuk sekolah selama menstruasi, dan banyak perempuan tidak berpartisipasi penuh dalam aktivitas publik atau pekerjaan akibat stres dan rasa malu yang menyertainya. Secara keseluruhan, fakta bahwa menstruasi masih menjadi topik tabu berdampak buruk pada kesejahteraan mental dan fisik perempuan di seluruh negeri, serta pada perekonomian, yang mengalami kerugian akibat tidak adanya partisipasi penuh dari tenaga kerjanya.
Namun, bagaimana kita bisa mengubah ini? Bagaimana kita bisa membangun masyarakat di mana menstruasi tidak lagi dikaitkan dengan rasa malu dan ketidakmurnian? Pertama, kita harus memahami sikap yang ada saat ini. Seperti apa sebenarnya stigma terhadap menstruasi di Indonesia? Dari mana keyakinan ini berasal, dan apa dampaknya? Dan setelah itu: apa yang bisa kita lakukan untuk mengubah narasi ini?
Bagaimana Stigma Ini Terlembaga?
Seperti Apa Stigma terhadap Menstruasi di Lingkup Keluarga, Sekolah dan Tempat Kerja, serta di Ruang Publik?
Di Dalam Keluarga
Secara logis, jika menstruasi dianggap sebagai sesuatu yang tabu dan bersifat “individu”, maka percakapannya akan lebih banyak terjadi di ranah domestik. Namun, kenyataannya sering kali tidak demikian.
Sebuah studi pada tahun 2022 menemukan bahwa di Indonesia, “…86% orang tua tidak mengedukasi anak perempuan mereka tentang menstruasi, sehingga banyak anak perempuan yang tidak tahu apa pun saat pertama kali mengalaminya” (Bloody Honest: This is what boys say about menstruation, 2022). Meskipun ada lebih banyak diskusi antara ibu dan anak perempuan mengenai menarke—sebanyak 41% responden perempuan dalam Demographic and Health Survey tahun 2012 menyatakan pernah mendiskusikannya (Intellecap and SPIRE Research & Consulting, 2022)—pendidikan yang mendalam mengenai menstruasi tetap jarang terjadi. Dan ini pun hanya terbatas pada anak perempuan. Pembahasan mengenai menstruasi di kalangan anak laki-laki bahkan lebih jarang terjadi, karena sebagian orang tua menganggapnya sebagai sesuatu yang “tidak pantas”. Tanpa disadari, “asumsi-asumsi ini memperkuat stereotip gender… Sulit untuk menghilangkan mitos seputar menstruasi jika orang tua sendiri mempercayainya” (The boy tackling period discrimination, 2024).
Sikap dalam keluarga memainkan peran besar dalam membentuk perspektif dan mempertahankan kesalahpahaman tentang menstruasi. Jika anak perempuan dan perempuan muda merasa malu terhadap haid mereka akibat sikap tabu yang berkembang di masyarakat, seharusnya rumah menjadi tempat yang aman bagi mereka untuk mendapatkan jawaban yang mereka butuhkan. Namun, yang sering terjadi justru sebaliknya—rumah menjadi pengingat bahwa menstruasi dianggap sebagai sesuatu yang kotor atau tidak suci. Untuk mengubah cara pandang masyarakat terhadap menstruasi, cara pembahasannya dalam lingkungan keluarga juga harus berubah.
Di Sekolah dan Tempat Kerja
Lingkungan sekolah memainkan peran yang sama pentingnya, mengingat sebagian besar orang mengalami menstruasi pertama mereka di usia remaja—masa di mana perasaan dan nilai-nilai dapat dengan mudah dipengaruhi melalui percakapan dengan teman sebaya. Sayangnya, hingga saat ini, banyak interaksi seputar menstruasi yang justru bersifat negatif. Di salah satu sekolah di Kabupaten Manggarai, Provinsi Nusa Tenggara Timur, “…anak perempuan sering mengalami perundungan saat mereka menstruasi—terutama ketika mengalami kebocoran. Hal ini menimbulkan rasa malu dan bisa membuat mereka memilih untuk tinggal di rumah selama menstruasi” (The boy tackling period discrimination, 2024).
Kurangnya infrastruktur kesehatan di sekolah juga memperburuk masalah ini. Banyak sekolah tidak memiliki fasilitas yang memadai bagi anak perempuan untuk merawat diri mereka selama menstruasi. Studi yang dilakukan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia pada tahun 2022 menemukan bahwa 54% sekolah dasar tidak memiliki toilet terpisah berdasarkan gender, dan 15% tidak memiliki akses air sama sekali (Intellecap and SPIRE Research & Consulting, 2022). Akibatnya, anak perempuan harus menghadapi kekhawatiran terkait kebersihan menstruasi dan kemungkinan kebocoran sepanjang hari. Hal ini menyebabkan penurunan partisipasi mereka dalam kegiatan sekolah dan sosial. Pada tahun 2022, hampir satu dari tujuh anak perempuan melewatkan setidaknya satu hari sekolah selama periode menstruasi terakhir mereka (Intellecap and SPIRE Research & Consulting, 2022).

Masalah yang sama juga terus berlanjut bagi perempuan di tempat kerja. Masalah infrastruktur tetap ada, ditambah dengan kondisi kerja yang tidak mendukung, seperti (Yusridar Mustafa, 2022):
- Seragam kerja yang ketat dan membatasi gerak
- Jam kerja panjang dengan waktu istirahat terbatas
- Akses terbatas ke fasilitas sanitasi dan kebersihan yang memadai
Faktor-faktor ini dapat menyebabkan stres, ketidaknyamanan, dan memperburuk gejala menstruasi, terutama karena perempuan sering kali tidak bisa mengganti produk menstruasi mereka sesering yang seharusnya. Selain itu, akibat pengalaman negatif sebelumnya terkait diskusi mengenai menstruasi, “…perempuan lebih cenderung mengambil cuti sakit daripada berbicara dengan atasan mereka tentang kelelahan atau menstruasi berat” (Bloody Honest: This is what boys say about menstruation, 2022).
Perlu dicatat bahwa Indonesia sebenarnya memiliki beberapa bentuk dukungan bagi perempuan yang menstruasi. Negara ini memiliki sejarah dalam memberikan cuti haid, dan saat ini menawarkan cuti haid berbayar selama 2 hari setiap bulan. Namun, hal ini tidak boleh dianggap sebagai solusi yang menyeluruh. Justru, kebijakan ini dapat menghindari penciptaan dukungan nyata terhadap menstruasi, seperti penyediaan infrastruktur dan layanan kesehatan yang memadai, serta memperkuat anggapan bahwa menstruasi adalah hal yang kotor dan pribadi yang sebaiknya tidak terlihat atau dibicarakan. Selain itu, di lingkungan industri, bahkan mengajukan cuti haid bisa “…berujung pada penghinaan publik yang serius” (Yusridar Mustafa, 2022). Tentu saja, kebijakan ini merupakan langkah ke arah yang lebih baik, tetapi masih ada perjalanan panjang yang harus ditempuh.
Di Ruang Publik
Di luar ruang pribadi, lingkungan sekolah, atau bahkan tempat kerja, stigma seputar menstruasi juga dapat diamati di ruang publik melalui berbagai aspek—mulai dari penempatan produk di toko, kesalahpahaman yang beredar, hingga kurangnya infrastruktur di fasilitas umum.
Sebuah laporan menemukan bahwa di beberapa toko di Indonesia, produk menstruasi ditempatkan di rak-rak yang lebih tinggi dan sulit dijangkau oleh perempuan atau bahkan tidak dipajang sama sekali meskipun tersedia untuk dibeli. Laporan tersebut juga menyebutkan bahwa perempuan biasanya membeli produk kesehatan menstruasi secara langsung dan, karena stigma seputar topik ini, lebih memilih bertanya kepada penjaga toko perempuan. Ketika tidak ada penjaga toko perempuan, banyak perempuan melaporkan mengalami kesulitan dalam membeli produk ini (Intellecap and SPIRE Research & Consulting, 2022). Menemukan produk menstruasi seharusnya tidak menjadi tantangan, dan berbicara dengan staf laki-laki tentang proses biologis yang normal seharusnya tidak menimbulkan rasa tidak nyaman. Kurangnya aksesibilitas dan inklusivitas ini membuat memperoleh produk menstruasi—yang merupakan kebutuhan dasar bagi kebersihan perempuan—menjadi sulit dan canggung. Selain itu, hal ini semakin membatasi diskusi tentang menstruasi, karena perempuan enggan mengajukan pertanyaan yang seharusnya dapat mereka tanyakan secara terbuka.
Selain itu, meskipun tenaga kesehatan menyediakan layanan konseling untuk masalah kesehatan mental, stigma dan rasa canggung membuat banyak perempuan enggan memanfaatkan layanan ini (Intellecap and SPIRE Research & Consulting, 2022). Sumber yang sama juga menemukan bahwa pada tahun 2022, “hanya 12% perempuan dan 6% laki-laki yang tahu di mana mereka bisa mencari informasi atau berdiskusi tentang kesehatan reproduksi.” Kurangnya akses terhadap edukasi inilah yang menyebabkan berbagai kesalahpahaman yang tersebar luas di Indonesia, seperti anggapan bahwa menarke adalah waktu yang tepat untuk menikah atau bahwa minum es saat menstruasi berbahaya bagi kesehatan.
Di Kalangan Laki-Laki
Seperti yang telah dibahas, perspektif masyarakat terhadap menstruasi sebagian besar berasal dari kurangnya edukasi, yang berakar pada keengganan untuk membicarakan topik ini karena dianggap “najis” atau “kotor.” Bahkan ketika ada pembicaraan tentang menstruasi, biasanya hanya terjadi di antara perempuan. Hal ini terjadi karena, seperti yang disebutkan sebelumnya, topik ini dianggap tidak pantas atau tidak perlu untuk dibahas oleh laki-laki.
Padahal, justru di situlah letak permasalahannya. Karena kurangnya edukasi ini, anak laki-laki dan laki-laki dewasa secara tidak langsung memainkan peran besar dalam mempertahankan stigma menstruasi.Laporan Bloody Honest dari Plan International tahun 2022 mengungkapkan bahwa “…lebih dari setengah laki-laki dan anak laki-laki di Indonesia yang disurvei percaya bahwa anak perempuan yang sedang menstruasi tidak seharusnya bersekolah.” Laporan tersebut juga menyebutkan bahwa “Sering kali, anak laki-laki atau guru laki-laki yang memberikan komentar negatif ketika anak perempuan mengalami kebocoran di sekolah. Selain itu, tidak semua ayah menganggap pembalut sebagai kebutuhan penting.” Dengan kata lain, selama laki-laki tidak dilibatkan dalam diskusi mengenai menstruasi, stigma ini akan terus berlanjut.
Grafik tentang edukasi menstruasi bagi laki-laki di Indonesia. (Bloody Honest: This is what boys say about menstruation, 2022).
Dampak Stigma Ini
Terhadap Kesehatan Fisik
Seperti yang telah dibahas sebelumnya, keterbatasan akses terhadap air dan fasilitas sanitasi selama menstruasi sering kali menyebabkan anak perempuan absen atau bahkan putus sekolah. Menurut penelitian Plan International Indonesia tahun 2018, “…hanya 29,5% anak perempuan yang mengganti pembalutnya di sekolah selama menstruasi karena merasa tidak nyaman” (Bloody Honest: This is what boys say about menstruation, 2022). Sementara itu, bagi sebagian lainnya, satu-satunya pilihan adalah tidak masuk sekolah sama sekali atau “…menggunakan pembalut mereka dalam waktu yang lama hingga mereka pulang, menyebabkan iritasi dan memperburuk gejala serta ketidaknyamanan menstruasi” (Hastuti & Pramana, 2018). Namun, kebiasaan ini dapat berdampak negatif pada kesehatan.* Menjaga kebersihan diri secara teratur dan mengganti produk menstruasi sesuai waktu yang disarankan sangat penting untuk menjaga kesehatan menstruasi. Mengabaikan hal ini dapat menyebabkan infeksi, dan bagi produk internal seperti menstrual cup dan tampon, bahkan dapat memicu kondisi berbahaya yang disebut Toxic Shock Syndrome (TSS).
Masalah ini tidak hanya dialami oleh anak perempuan di sekolah, tetapi juga oleh perempuan dewasa di tempat kerja dan fasilitas umum lainnya. Seperti yang telah disebutkan, kurangnya infrastruktur juga terjadi di lingkungan kerja dan fasilitas publik, menyebabkan dilema yang harus dihadapi oleh perempuan setiap hari di seluruh Indonesia. Situasi ini diperparah oleh stigma menstruasi. Bahkan ketika fasilitas tersedia, banyak perempuan enggan menggunakannya karena ingin menjaga siklus menstruasi mereka tetap bersifat pribadi (Clarissa, 2023). Secara keseluruhan, tantangan ini adalah sesuatu yang dihadapi oleh hampir semua perempuan ketika menggunakan fasilitas sekolah, tempat kerja, atau ruang publik, dan dampaknya dapat sangat merugikan kesehatan mereka.
Untuk informasi lebih lanjut mengenai dampak kesehatan serta cara menjaga kebersihan menstruasi dengan benar, kamu bisa membaca panduan kami di sini: Kesehatan Menstruasi 101: Dasar-Dasar yang Perlu Kamu Ketahui
Selain dampak fisik yang berpotensi berbahaya, sikap negatif terhadap menstruasi juga dapat merusak cara perempuan memandang menstruasi dan tubuh mereka sendiri.
Terhadap Kesehatan Mental
Meskipun ada banyak hambatan infrastruktur yang nyata dalam manajemen menstruasi, “Norma sosial, stigma menstruasi, tabu, dan mitos ditemukan sebagai tantangan utama… yang memengaruhi kapasitas perempuan untuk mengelola menstruasi dengan higienis dan berbicara tentang kesehatan menstruasi di ruang publik” (Yusridar Mustafa, 2022). Tabu dan stigma ini menyebabkan kurangnya pendidikan dan pemahaman tentang topik tersebut, yang pada akhirnya menghambat dorongan untuk menangani masalah kesehatan secara efektif.
Bahkan ketika edukasi diberikan, sering kali pembahasannya terbatas pada aspek biologis menstruasi, tanpa membahas dampak sosial dan emosionalnya serta bagaimana cara menghadapinya (Clarissa, 2023). Akibatnya, banyak perempuan memandang tubuh mereka sebagai sesuatu yang kotor atau tidak murni selama menstruasi. Studi UNICEF Indonesia tahun 2015 menemukan bahwa sekitar 20% anak perempuan di daerah perkotaan dan pedesaan menganggap menstruasi sebagai penyakit (Intellecap and SPIRE Research & Consulting, 2022). Berbagai eufemisme dalam bahasa Indonesia seperti “datang bulan” dan “hal rutin perempuan” muncul akibat rasa malu terhadap topik ini, dan perempuan sering kali menyembunyikan produk menstruasi karena merasa risih (Savitri, 2020). Padahal, menstruasi adalah proses biologis yang sepenuhnya normal dan sehat. Namun, kurangnya edukasi dan pandangan negatif tentangnya telah menyebabkan banyak perempuan lebih mengasosiasikannya dengan kata-kata seperti “kotor” dan “najis”, yang dapat merusak rasa percaya diri mereka serta berdampak buruk pada prestasi akademik, karier, interaksi sosial, dan kehidupan pribadi mereka.
Grafik dengan kata-kata umum yang dikaitkan dengan menstruasi di Indonesia. (Bloody Honest: This is what boys say about menstruation, 2022).
Dampak terhadap Ekonomi
Meskipun dampak stigma menstruasi dirasakan secara individu oleh perempuan, efeknya juga dapat meluas ke tingkat yang lebih besar, termasuk terhadap perekonomian.
Sebuah laporan tahun 2022 menemukan bahwa “Di Indonesia, lebih dari setengah (58%) responden tidak berpikir bahwa perempuan bisa bersekolah atau bekerja saat menstruasi” (Plan International Australia, 2022). Dalam sumber lain, seorang gadis Indonesia menjelaskan bahwa “…rasa malu dan stigma mengelilingi menstruasi…[hal ini] membatasi kami dalam melakukan pekerjaan tertentu dan mencegah kami menghadiri banyak ritual atau acara budaya” (Savitri, 2020).
Secara lebih nyata, keberadaan cuti menstruasi di Indonesia telah menyebabkan banyak perusahaan menurunkan gaji pekerja perempuan dan bahkan menghindari mempekerjakan perempuan demi mengurangi biaya operasional (Yusridar Mustafa, 2022). Selain itu, ketika perempuan tidak dapat mengakses produk menstruasi—baik karena harga yang tinggi atau gangguan dalam rantai pasokan—hal ini membatasi peluang mereka untuk berpartisipasi dalam aktivitas ekonomi dan sosial (Boys as Allies for Menstrual Health in Indonesia, 2024).
Semua faktor ini menyebabkan perempuan tidak dapat berkontribusi secara penuh dalam perekonomian. Ini bukan hanya berarti bahwa sebagian besar tenaga kerja di Indonesia tidak dimanfaatkan secara maksimal, tetapi juga bahwa tantangan ini akan terus berkembang seiring dengan meningkatnya partisipasi perempuan dalam pasar kerja.
Bagaimana Kita Bisa Menghapus Stigma Menstruasi?
Seperti yang telah kita bahas sebelumnya, penyebab utama dari stigma menstruasi yang meluas adalah kurangnya pendidikan tentang topik ini. Tanpa pendidikan yang memadai, masyarakat akan terus memandang menstruasi secara negatif, dan upaya apa pun untuk menyediakan konseling serta sumber daya lainnya tidak akan dimanfaatkan secara optimal.
Seorang gadis muda Indonesia menjelaskan, “Masyarakat kita masih menstigmatisasi menstruasi, terutama karena kita masih kurang mendapatkan pendidikan seks, termasuk pendidikan menstruasi. Akibatnya, banyak orang di masyarakat kita menganggap segala sesuatu yang berkaitan dengan reproduksi dan gender sebagai sesuatu yang terlarang, pribadi, atau bahkan pornografi” (Savitri, 2020). Oleh karena itu, cara paling efektif untuk meningkatkan kesadaran akan menstruasi adalah dengan menitikberatkan pada pendidikan.
Menyediakan pendidikan menstruasi yang komprehensif telah terbukti memberikan banyak manfaat bagi perempuan, termasuk peningkatan rasa percaya diri dan keterlibatan dalam bidang akademik serta pertumbuhan pribadi. Bagi laki-laki, pendidikan ini telah terbukti membangun empati dan kepedulian, sehingga membantu menormalkan percakapan tentang pubertas dan menstruasi (Clarissa, 2023).
Selain pendidikan, cara lain untuk menciptakan lingkungan yang lebih sehat bagi perempuan saat menstruasi adalah dengan meningkatkan infrastruktur yang mendukungnya. Ini mencakup peningkatan ketersediaan produk menstruasi serta penyediaan fasilitas publik yang bersih dan aman. Di banyak negara, produk menstruasi sudah tersedia di tempat umum seperti sekolah, sehingga memastikan bahwa perempuan tidak perlu khawatir dalam mengelola menstruasi dalam kehidupan sehari-hari mereka.
Grafik yang menunjukkan empat komponen dalam menciptakan lingkungan yang mendukung kesehatan dan kebersihan menstruasi. (Intellecap dan SPIRE Research & Consulting, 2022).
Apa yang Bisa Kamu Lakukan?
Semua ini memang penting, tapi apa yang bisa kamu lakukan sebagai individu? Dengan mengubah cara pandangmu terhadap menstruasi dan memilih untuk lebih memahami topik ini, kamu sudah berkontribusi dalam menciptakan perubahan. Ketika kamu memperlakukan menstruasi sebagaimana mestinya—sebuah proses alami dan sehat dalam tubuh—kamu juga membantu orang-orang di sekitarmu memahami hal yang sama.
Jadi, lain kali jika kamu memiliki pertanyaan, tanyakan. Bicarakan menstruasi dengan teman dan keluargamu. Jika memungkinkan, bagikan pemikiran ini ke audiens yang lebih luas untuk menciptakan perubahan yang lebih berdampak. Mungkin pada awalnya terasa canggung atau memalukan, tetapi satu-satunya cara untuk menghapus rasa malu ini dari masyarakat adalah dengan menghadapinya secara individu. Dengan begitu, kita bisa mulai membangun masa depan di mana menstruasi dibicarakan dan didukung sebagaimana mestinya, sehingga semua orang yang mengalami menstruasi dapat merasa percaya diri dengan tubuh mereka sendiri.
Untuk mempelajari lebih lanjut tentang menstruasi, kamu bisa membaca panduan lengkap kami di Kesehatan Menstruasi 101 di sini: https://girls4change.id/kesehatan-menstruasi-101-dasar-dasar-yang-perlu-kamu-ketahui/
Referensi:
Bloody Honest: This is what boys say about menstruation (2022) Plan International. https://www.planinternational.nl/uploaded/2022/05/BLOEDEERLIJK-onderzoek_Plan-International_mei-2022.pdf.
Boys as Allies for Menstrual Health in Indonesia (2024). https://www.waterforwomenfund.org/en/news/boys_as_allies_for_menstrual_health_in_indonesia.aspx.
Clarissa, F. (2023) Unlocking Potential: How Period Positive Schools Facilities can Empower Indonesian Students https://perfectfit.co.id/blogs/news/unlocking-potential-how-period-positive-schools-facilities-can-empower-indonesian-students-nbsp.
Intellecap and SPIRE Research & Consulting (2022) Market Assessment Final Report of Menstrual Health and Hygiene (MHH) Products and Services. https://clearinghouse.unicef.org/download-ch-media/b361edc5-08d1-47e5-92a4-2061a0c4989b.
Plan International Australia (2022) ‘One in five boys and young men think periods should be kept secret, as new research shows ‘deep-rooted’ taboos around menstrual health,’ 17 June. https://www.plan.org.au/media-centre/one-in-five-boys-and-young-men-think-periods-should-be-kept-secret-as-new-research-shows-deep-rooted-taboos-around-menstrual-health/.
Savitri, S. (2020) Two Indonesian teens discuss why their country needs better menstrual health education — Assembly | Malala Fund. https://assembly.malala.org/stories/menstrual-health-education-in-indonesia.
The boy tackling period discrimination (2024). https://plan-international.org/indonesia/case-studies/boy-tackling-period-discrimination/.
Yusridar Mustafa, A. (2022) Rethinking menstrual leave in Indonesia. https://perfectfit.co.id/blogs/news/rethinking-menstrual-leave-in-indonesia?srsltid=AfmBOorpZJ18z14xE-jbUvS0pWTevS_HprWWiXzheWbdaPdWIC1roVDL.
Penulis: Anisa Uddin (Intern RISE Foundation)